KELUARGA KANIBAL DARI SKOTLANDIA

Kisah Sawney Bean adalah salah satu legenda Skotlandia yang paling mengerikan, kisah ini terjadi pada abad 18.

Alexander Sawney Bean adalah kepala keluarga incest pemakan daging manusia, selama 25 tahun mereka melakukan pembunuhan dan perampokan dari gua mereka yang tersembunyi di Ayrshire / pantai Galloway pada abad ke-15. Gua milik Sawney dan klan jahatnya terletak dekat dengan Ballantrae di Bennane, Ayrshire.

"Sawney Bean lahir di akhir abad ke-14, di sebuah desa kecil Lothian Timur kurang dari sepuluh mil dari Edinburgh. Dia mulai hidup penggali parit, tapi, karena dia malas dan cenderung tidak jujur, dia lari dari rumah dengan seorang wanita yang juga kejam seperti dirinya sendiri Karena terlalu miskin buat idup mereka bikin rumah dalam gua laut di Galloway, mereka mempertahankan diri mereka sendiri dengan merampok dan membunuh wisatawan dan penduduk setempat,. dan hidup pada daging korbannya yang merekajadikan acar dan diasinkan. Saat keluarga mereka terdiri dari 46 putra, putri, cucu-cucu dan cucu, kejahatan mereka meningkat: ratusan orang hilang selama bertahun-tahun, dan keluarga bean menjadi begitu sukses dalam kegiatan penjagalannya, mereka bahkan melemparkan anggota tubuh yang tidak diinginkan laut. Bagian tubuh itu terdampar di pantai dan menimbulkan banyak kengerian pada masyarakat pesisir."

"Keluarga Sawney yang sekarang sudah tumbuh sangat besar dan mulai menyerang kelompok yang lebih besar, walaupun tidak pernah lebih dari yang mereka pikir mereka bisa kalahkan. Mereka yakin mereka tidak akan ditemukan, karena: gua mereka telah menyembunyikan mereka dengan baik, gua mereka juga tertutup air pasang pada waktu-waktu tertentu. Diperkirakan bahwa dalam 25 tahun mereka telah menewaskan lebih dari seribu orang wanita dan anak-anak.

Mereka akhirnya dapat diberantas karena suatu peristiwa. Suatu ketika mereka menyerang satu keluarga, tetapi ternyata keluarga tersebut punya pistol dan mereka berhasil mengusir keluarga Sawney dengan bantuin sekelompok orang yang kebetulan lewat. Segera setelah kejadian itu mereka melapor pada Raja James IV. Dilengkapi dengan anjing pelacak, Raja dan 400 pasukan berjalan mereka ke lokasi pembantaian dan mulai memburu keluarga sawney dan memberantas mereka.

"Para anjing pelacak berhasil melacak keluarga Sawney Bean. Mereka lalu memasuki gua dan menemukan pemandangan yang mengerikan : bagian kering dari tubuh manusia yang tergantung dari atap, tungkai yang diacarkan di barel, dan ada pula tumpukan uang dari saku orang mati. Keluarga Sawney Bean tidak berusaha untuk melarikan diri semua ditangkap dan dibawa hidup ke Edinburgh dengan dirantai, di mana mereka dipenjara dibawa ke Leith. "

"Orang-orang selama ini ketakutan pada Sawney Bean dan keluarganya memutuskan untuk memberikan hukuman yang lebih barbar. Eksekusi itu berjalan lambat: laki-laki kehabisan darah sampai mati setelah tangan dan kaki mereka dipotong, dan perempuan-perempuan dibakar hidup-hidup setelah mereka dipaksa untuk menyaksikan pelaksanaan eksekusi."

 

Pohon Pembunuh di Belgia

Cerita nyata ini terjadi di kota Liege, Belgia. Uniknya cerita ini berhubungan dengan sebatang pohon tua angker.

Menurut sebuah catatan, sampai saat ini pohon yang tidak disebut nama dan jenisnya itu telah menelan korban puluhan nyawa manusia. Mereka mati akibat memegang atau memotong pohon yang diperkirakan berusia 116 tahun itu.

Baru-baru ini 12 orang yang menganggap takhayul akan pohon tersebut, menjadi korban lagi. Mereka dengan sengaja telah merusak sang pohon misterius dengan berbagai cara. Akibatnya entah kebetulan atau bukan, mereka meninggal satu persatu dengan penyebab yang tak jelas.
Sebenarnya tidak ada yang berani memegang pohon tersebut.

Tetapi mereka orang luar itu rupanya tidak percaya dengan cerita masyarakat disini (kota Liege). Padahal sudah banyak yang terjadi. Orang yang memegang atau merusaknya, belum sempat dia menceritakan pengalamannya sudah keburu mati', kata seorang ahli sejarah kota Liege, Miklak Van Lamers.

Sejarah mencatat sudah 52 orang yang mati akibat keganasan pohon ini. Mereka terdiri dari 12 orang anak-anak dan 40 lainnya adalah orang dewasa. 14 Orang diantara mereka bahkan meninggal dunia tak lebih dari 48 jam setelah memegang atau merusak pohon tersebut.

Menurut cerita keanehan pohon ini bermula ketika seorang pemuja setan, Carl De Bast, disiksa dan kemudian digantung di atas pohon tersebut. Kejadian menyeramkan ini berlangsung pada tanggal 16 Mei 1881. Pelaku penyiksaan adalah masyarakat kota Liege.

Beberapa saat sebelum meninggal, Carl bersumpah akan membalas dendam terhadap masyarakat kota Liege. Dia mengatakan bahwa siapa saja yang berani menyentuh atau merusak pohon tempat dirinya digantung maka akan segera meninggal dunia sebagai aksi pembalasan dendamnya. Konon, sejak hari penghukuman itu, tidak ada seorangpun yang berani menyentuh apalagi merusak pohon ini.

Penderitaan dan ketakutan yang dialami para korban saat meregang nyawa jelas tergambar pada wajahnya. 'Pada saat sekarat, ekspresi wajah mereka seolah-olah sedang menghadapi setan-setan. Sampai saat ini pihak kedokteran yang memeriksa mayat para korban, belum dapat memberikan jawaban secara ilmiah tentang apa yang menjadi penyebab kematian dari 52 orang tersebut', ungkap Van Lamers.

 

Misteri Laut "Setan" di Jepang

Perairan ini adalah merupakan daerah lautan tenang di Laut Pasifik, 100 KM sebelah selatan Tokyo, yang terletak diantara pulau Ivojima dan Pulau Miyake,tetapi kurang begitu terkenal dibanding Segitiga Bermuda, barangkali karena letaknya yang jauh dari daratan Jepang.
Sementara itu Segitiga Bermuda sangat akrab bagi kalangan pelaut Amerika, yang pada gilirannya menelan banyak kapal dan pesawat.

Kendati demikian,Laut Setan dekat daratan Jepang itu juga bertanggung jawab atas hilangnya beberapa kapal dan pesawat. Antara tahun 1950 dan 1954, didaerah ini telah hilang tidak kurang dari 9 kapal besar tanpa meninggalkan bekas. Pemerintah Jepang sangat menaruh perhatian terhadap daerah ini,dan mengumumkan bahwa ia merupakah daerah berbahaya dan tidak boleh didekati. Pada tahun 1955 pemerintah Jepang mengirim ekspedisi dengan membawa sejumlah pakar menuju daerah tersebut dengan menggunakan kapal Kawamaru. Malangnya Kawamaru lenyap tanpa pesan.

Seorang sarjana Amerika,Ivan Sanderson,yang sangat tertarik dengan semua keanehan tersebut,berusaha melihat letak Segitiga Bermuda dan Japan Devil’s Sea dalam peta. Ternyata dia melihat bahwa kedua daerah tersebut terletak persis digaris bujur antara 30 dan 40 derajat sebelah utara khatulistiwa,luasnya hampir sama

Melalui kesimpulan ini Sanderson melanjutkan pengamatannya pada hal-hal lainnya, dan dia menemukan bahwa terdapat 12 daerah di dunia ini yang sejenis dengan itu. Dua diantaranya di kutub utara dan kutub selatan, sedang sepuluh lainnya terbagi dalam dua jajar, jajaran pertama terletak pada garis bujur 40 derajat sebelah utara, dan jajaran kedua terletak pada garis bujur 40 derajat sebelah selatan khatulistiwa.

Masing-masing tempat terpisah sekitar 72 derajat pada garis lintang. Tempat-tempat tersebut disamping didua kutub utara dan selatan, antara lain adalah dua daerah yang terletak didaratan. Satu di uatara Gurun Pasir Besar Afrika, dan satu lagi di daerah pegunungan barat laut India.

Sanderson mengamati bahwa sebagian besar daerah tersebut memiliki kemiripan satu sama lain, antara lain, dalam letaknya yang berada dikawasan yang mana bertemu arus panas dan dingin, dan bahwasanya tempat2 tersebut dipandang sebagai titik-simpul, karena ia mengarahkan arus air atas dan bawah pada arah yang berlawanan, dan dengan suhu yang berbeda tersebut, dapat menimbulkan gelombang magnetic yang menjadi biang keladi bagi semua kecelakaan itu.Akan tetapi teori Sanderson ini tidak dibangun atas suatu dalil.

Tidak ada suatu apapun yang membuktikan bahwa pertemuan dua aliran air yang berlawanan arah dan dengan suhu yang berbeda dapat menghasilkan gelombang magnetis didalam bumi.

Selain itu, teori Sanderson juga tidak menginprestasikan cara kerja “Kuburan Setan” yang terletak didaratan.Yakni,dua dikutub utara dan kutub selatan, yang ketiga disebelah utara Gurun Besar Afrika, dan yang keempat di pegunungan barat-daya India.

Lebih jauh lagi,teori tersebut gagal menjawab pertanyaan,mengapa kapal-kapal yang menjadi korban ditempat-tempat seperti itu ditinggalkan penumpangnya begitu saja, dan kemana pula mereka pergi? Lalu, peristiwa apa pula yang kelihatannya demikian menakutkan mereka,sehingga mereka meninggalkan kapalnya?
 

Misteri Mayat Tersenyum

Selama ribuan tahun para ilmuwan masih diselimuti misteri soal bagaimana mayat-mayat kuno di Kepulauan Sardinia rata-rata dalam kondisi wajah tersenyum. Sebagaimana diberitakan National Geographic, Kamis (4/6) kini setelah 2.800 tahun berlalu, mereka berhasil mengungkap bahwa ada bahan tanaman yang mampu membuat orang bisa tersenyum menjelang ajalnya. Tanaman ini diduga dapat membuat tampilan wajah si mayat seperti tersenyum. Sebelumnya, penulis abad ke-8 SM Homer pernah menyebutkan istilah kata "Senyuman Sardonik" yang diambil dari akar kata " Sardinia" dalam sejumlah tulisannya merujuk pembunuhan ritual di pulau itu yang berakhir dengan wajah tersenyum.

Menurut studi terkini, orang-orang tua di masa lalu yang diduga sudah tidak bertahan hidup lagi dan mereka yang terlibat dalam kasus kriminal "dicekoki dengan herba sardonik dan lantas dibunuh dengan cara dijatuhkan dari bukit tinggi atau dipukuli hingga mati".

Selama berabad-abad identitas herba tersebut masih misteri. Namun, sebuah studi yang dipimpin Giovanni Appendino bersama rekan-rekannya berhasil menguak kandungan herba yang bisa membuat orang-orang yang akan mati itu tersenyum pada sebuah tanaman yang disebut hemlock water-dropwort.

Tanaman berbunga putih seperti batang-batang ini tumbuh di sepanjang kolam dan sungai di beberapa bagian negara Italia. Sekitar satu dekade lalu, seorang penggembala domba Sardinia melakukan aksi bunuh diri dengan mengonsumsi tanaman hemlock water-dropwort sehingga mayatnya ditemukan dalam kondisi tersenyum.

Kematian ini membuat Mauro Ballero, pakar botani di University of Cagliari di Sardinia untuk meneliti lebih lanjut setiap tanaman dropwort di pulau itu. Penelitiannya dilanjutkan oleh Ballero bersama rekan-rekannya yang meneliti struktur melekul toxin tanaman hemlock water-dropwort dan menentukan dampaknya terhadap tubuh manusia.

Appendino, pakar organik kimia di Universita degli Studi del Piemonte Orientale di Italia menjelaskan, "Kandungan toxin yang sangat tinggi dan penyebab gejala-gejalanya persis sama dengan yang diuraikan dalam catatan kuno dan peninggalan mayat-mayat tersenyum sardonik." Dikatakanya, tanaman hemlock water-dropwort diketahui mengandung neurotoxin dan menurut kami tanaman itulah yang dipakai orang-orang dulu."

Selain tanaman hemlock water-dropwort, ada juga tanaman lain yaitu hairy buttercup (aka the Sardinian buttercup). Tapi, tanaman ini tidak tumbuh di tempat-tempat lembab sebagaimana yang disebutkan dalam sejumlah teks kuno dan juga tidak mengandung toxin yang kuat, jelas Appendino. Dia menambahkan Sardinia adalah satu-satunya tempat di seluruh Mediterranean yang ditumbuhi tanaman jenis hemlock water-dropwort.

Menurut seorang kerabat korban yang mati itu, tanaman hemlock water-dropwort sangat berbahaya disebabkan aroma dan rasanya yang sangat manis. "Pada umumnya tanaman beracun itu pahit tapi hemlock water-dropwort memiliki rasa yang manis. Dan ini merupakan kasus kedua tanaman beracun yang dapat merangsang indera kita. Menurut Appendino, tanaman ini sangat berguna untuk kosmetik sebab ia bisa merelaksasi otot dan menghilangkan keriput-keriput di wajah. Temuan mereka ini dipaparkan di Journal of Natural Products.
 

U-196 Kapal Selam Nazi yang Hilang di Pelabuhan Ratu


Dari sejumlah kapal selam Jerman yang beraksi di perairan Indonesia, adalah U-196 yang masih menyimpan misteri keberadaannya.

Sampai kini, nasib kapal selam Type IXD2 itu hanya dikabarkan hilang di Laut Kidul (sebutan lain untuk bagian selatan Samudra Hindia).

Berbagai catatan resmi u-boat di Jerman, U-196 dinyatakan hilang bersama seluruh 65 awaknya di lepas pantai Sukabumi sejak 1 Desember 1944. Sehari sebelumnya, kapal selam yang dikomandani Werner Striegler itu, diduga mengalami nasib nahas saat menyelam.

Kapal selam U-196 meninggalkan Jakarta pada 29 November 1944, namun kemudian tak diketahui lagi posisi terakhir mereka selepas melintas Selat Sunda. Pesan rutin terakhir kapal selam itu pada 30 November 1944 hanya "mengabarkan" terkena ledakan akibat membentur ranjau laut lalu tenggelam.

Namun dari ketidakjelasan nasib para awak U-196, ada satu nama yang dinyatakan meninggal di Indonesia. Ia adalah Letnan Dr. Heinz Haake yang makamnya ada di Kampung Arca Domas Bogor, bersama sembilan tentara Nazi Jerman lainnya.

Minim catatan mengapa jasad Haake dapat dimakamkan di sana, sedangkan rekan-rekannya yang lain tak jelas nasibnya. Hanya kabarnya, ia dimakamkan atas permintaan keluarganya.

Selama kariernya, U-196 pernah mencatat prestasi saat masih dipimpin komandan sebelumnya, Friedrich Kentrat. Kapal selam itu melakukan tugas patroli terlama di kedalaman laut selama 225 hari, mulai 13 Maret s.d. 23 Oktober 1943. Kapal tersebut menenggelamkan tiga kapal musuh dengan total bobot 17.739 GRT.

Posisi Friedrich Kentrat kemudian digantikan Werner Striegler (mantan komandan U-IT23) sejak 1 Oktober 1944, sampai kemudian U-196 mengalami musibah sebulan kemudian.

Kendati demikian, sebagian pihak masih berspekulasi atas tidak jelasnya nasib sebagian besar awak U-196. Walau secara umum mereka dinyatakan ikut hilang bersama kapal selam itu di Laut Kidul, namun ada yang menduga sebagian besar selamat.

Konon, kapal ini datang ke Amerika Selatan kemudian sebagian awaknya bermukim di Iqueque, Chile. Dari sini pun, tak jelas lagi apakah U-196 akhirnya benar-benar beristirahat di sana, apakah kemudian kapal selam itu ditenggelamkan atau dijual ke tukang loak sebagai besi tua, dll.

Seseorang yang mengirimkan e-mail dari Inggris, yang dikirimkan 14 Oktober 2004, masih mencari informasi yang jelas tentang keberadaan nasib awak U-196. Ia menduga, U-196 sebenarnya tidak mengalami kecelakaan terkena ranjau di sekitar Selat Sunda dan Laut Kidul, sedangkan para awaknya kemudian menetap di Cile.

Keyakinannya diperoleh setelah membaca sebuah surat kabar di Cile, sejumlah awak kapal selam Jerman telah berkumpul di Iqueque pada tahun 1945. Mereka tiba bersamaan dengan kapal penjelajah Almirante Latorre, yang mengawal mereka selama perjalanan dari Samudra Hindia. Di bawah perlindungan kapal penjelajah itu, kapal selam tersebut beberapa kali bersembunyi di perairan sejumlah pulau, sebelum akhirnya berlabuh di Pantai Selatan Cile.

Yang menimbulkan pertanyaan dirinya, mengapa setelah tiba di Cile, tak ada seorang pun awaknya pulang ke Jerman atau mencoba bergabung kembali dengan kesatuan mereka. Ini ditambah, minimnya kabar selama 50 tahun terakhir yang seolah-olah "menggelapkan" kejelasan nasib U-196, dibandingkan berbagai u-boat lainnya yang sama-sama beraksi di Indonesia.